Senin, 04 Juli 2011

kumpulan cerpen

GUBRAKK !!!
Suara daun pintu terdengar nyaring walau ku banting dengan tenagaku yang telah terkuras habis. Pandanganku kabur,samar-samar terlihat gelap karena pengaruh sesuatu. Meskipun sinar lampu di kamarku tetap semangat menerangi. Kurebahkan tubuh lemas di ranjang seraya memejamkan mata seakan siap untuk terbang ke angkasa.
<3 <3 <3
Cahaya itu datang dan mengetuk kelopak mataku dengan membawa kehangatan. Perlahan ku buka mataku, ku lirik jam dinding, masih menunjukkan pukul 06.10 pagi.
“ hoeekk!!” isi perutku terusir keluar. Dengan menutup mulut aku tergopoh-gopoh menuju westafel walau kepalaku terasa berat. Saat membasuh wajah, tiba-tiba semuanya menjadi gelap.
###
Entah kenapa mataku sedikit barat untuk ku buka. Samar-samar terlihat suasana yang serba putih. Mulai dari sarung bantal, sprei, gorden, tembok, sampai ke warna pakaian yang ku kenakan pun putih. Ku temukan sepasang mata memandangku, sebening tetesan embun, namun terlihat berkaca, yang sangat ku rindukan, yang sekian lama menghilang.
“Kamu sudah sadar sayang?” suara lembut penuh keluh kesah itu, yang terasa 100 tahun lamanya tak ku dengar, sangat menenangkan hatiku. Rasa gundah dan pikiran kacau seketika menghilang. Sentuhan hangat pada jemariku membangkitkan semangatku yang kian runtuh.
“aku di mana? “ terbata-bata ucapanku keluar membuat genggaman itu semakin erat. Butiran bening dan hangat membasahi jemariku. Aku semakin penasaran apa yang sebenarnya terjadi kepadaku?.
“kamu pasti akan baik-baik saja, Nez”. Suara seorang lagi di samping kanan ranjangku. Ah Reza, orang yang selama ini memperhatikanku tapi selalu ku acuhkan. Dari semenjak menjadi siswi baru di SMA 71, hingga sekarang  aku duduk di kelas 3. Sedikit penyesalan muncul dihatiku. Tapi semua ini ku lakukan Karena……….Bastian mana? Harusnya dia yang ada di sini sekarang, bukan Reza. Tapi kenapa dia tak di sini saat ku butuhkan?
“apa maksudmu datang ke sini, Za?” tanyaku sinis, karena sebenarnya aku tidak mengharapkan kehadirannya. Entah mengapa segumpal kebencian selalu ada untuk dia? Alasan Papa tidak menyukainya mungkin tepat untuk itu. Walaupun tak pernah sekalipun dia berbuat salah. Tidaklah terang jika dia tak pernah jera mendekatiku walau aku sering memakinya. Dasar muka tembok! Rutukku dalam hati.
“aku tidak melihatmu di kelas, lalu aku menghubungi nomor rumahmu. Katanya kamu dirawat di rumah sakit. Lalu sepulang sekolah aku langsung datang ke sini.” Terangnya sedikit nervous.
“Bastian mana?”
“aku sudah memberitahu padanya, tapi dia bilang itu bukan urusanku”
“sayang, sekarang kamu dirawat, kondisimu lemah, jangan pikirkan hal lain dulu, kesembuhanmu lebih penting.” Mama menasehatiku karena dia tahu Reza mulai gemetar dengan tingkahku. Mama membelai rambutku, Reza diam seribu bahasa. Ditatapnya tempat berpijak dan tak mampu mengalihkan pandangannya. Mama tetap berusaha menenangkan suasana.
“aku kenapa, Mah? Aku sakit apa? Sampai aku ada di ruangan membosankan seperti ini.” Tanyaku memandang Mama penuh harap. Air mata yang membasahi pipi Mama membuatku semakin gundah. Sementara Reza tetap menundukkan kepalanya.
“bagaimana keadaan Rinez,Mah?” seorang laki-laki setengah baya masuk ke ruangan di mana aku dirawat. Dengan tanpa meletakkan tas kerjanya Papa mendekat ke arahku. Reza sedikit mundur karena dia tahu Papa tak menyukainya.
“belum ada perkembangan, Pah.” Mama menggelengkan kepala tanpa menghentikan tangisnya yang semakin menjadi.
“semalam kamu ke mana, Nez? Mabuk lagi? Ngrokok lagi? Kamu lihat sekarang akibatnya! Menyusahkan orang tua saja. Apa sih yang ada dalam pikiran kamu,hah? Mau jadi apa kamu kalau terus-terusan seperti itu? Kamu juga, Mah. Harusnya kamu jaga anakmu dengan baik, jangan biarkan dia terjerumus pergaulan bebas seperti itu.” Papa mulai naik darah.
“loh.. papa menyalahkan Mamah?”
Bla…bla…bla… pertengkaranpun terjadi antara Mama dan Papa, yang sebenarnya sudah menjadi rutinitas sehari-hari. Bahkan dalam keadaan anaknya terkapar lemahpun mereka tidak sadar juga.
“hentikaan !!!” suasana menjadi hening seketika. Ku tutup daun telingaku. Reza mencoba mendekati dan menenangkanku.
“harusnya aku yang menanyakan hal itu. Apa yang semalam aku lakukan itu semata-mata karena aku butuh hiburan. Aku merasa kesepian. Kalian selalu sibuk . sampai tak ada waktu sedikitpun yang kalian luangkan, walau hanya sekedar sarapan pagi ataupun makan malam bersama. Percuma aku hidup berkecukupan tapi kurang akan kasih sayang dari kalian.” Tangis dan emosi ku meledak. Reza mencoba menengahi, tapi Papa mengusirnya. Semua kembali gelap, aku tak sadarkan diri kembali.
###
Saat aku tersadar Mama dan Papa terlihat sangat cemas, mereka memandangku dengan penuh harap. Mama tidak bisa menghentikan tangisnya, bahkan sekarang Papa pun ikut menangis di  depanku. Hal yang seumur hidup tak pernah aku lihat. Aku tak mampu berkata apa-apa lagi.
“sayang, maafkan kami, kami memang salah. Mulai sekarang, Mama sama Papa janji, kamu tidak akan kekurangan perhatian ataupun kasih sayang kami lagi.” Suara Mama dalam tangisnya.
“Mah, dadaku sakit, aku takut. Sebenarnya aku sakit apa, Mah?” tak ada yang menjawabku,tangis mereka semakin menjadi. Tampak dokter dan suster memasuki ruangan.
“akibat nikotin dari rokok dan alcohol dari minuman keras yang kamu konsumsi…kanker paru-paru bersarang di tubuhmu, Rinez” dokter sendiri yang menjawabnya.
Apa !!
Jantungku berhenti berdetak seketika, mendengar penyakit yang kuderita. Kanker paru-paru. Salah satu penyakit mematikan, kini bersarang di tubuhku. Terlebih setelah kudengar, umurku tak akan lama lagi. Tubuhku lemah lunglai bagai mayat hidup. Tanpa sadar pipiku telah basah, mengingat apa yang akan terjadi kepadaku. Rinez yang terkenal cantik dan periang, kini terkapar tak berdaya di rumah sakit karena penyakit mematikan.
###
“Pah, aku boleh pinjam HP Papa?”
“ya, sayang.” Papa merogoh sakunya dan memberikan HPnya padaku. Dengan tangan gemetar ku tekan nomor Bastian. Ku letakkan HP di telingaku. Nada sambung sudah terdengar.
“hallo.. ini siapa ya?” Tanya suara di seberang.
“Bas, ini aku Rinez”
“Oh, kamu. Kenapa, Nez?” suara bastian terdengar tanpa rasa cemas sedikitpun. Dan samar-samar ada suara perempuan tertawa manja pada Bastian.
“Bas, kamu di mana? Aku kangen.” Aku mulai terisak.
“Apa? Kangen kamu bilang? Nez sayang, dengar baik-baik ya, kamu itu sedang sakit, dan tidak lama lagi kamu akan mati. Urus saja penyakit kamu itu, tidak perlu memikirkan kangen, aku tidak sudi punya pacar penyakitan seperti kamu.. tut..tut…tut..”. bastian mematikan HPnya. Aku tidak pernah menyangka Bastian bicara seperti itu padaku, tega sekali dia. Ternyata dia sudah tahu keadanku. Semua menjadi gelap entah apa yang terjadi padaku.
####
Cahaya sang surya masuk melalui celah jendela ruangan. Ini adalah hari ke-3 aku berbaring di ranjang putih ini. Kondisi kesehatanku memburuk. Bahkan semalam aku muntah darah. Begitu kata Mama. Mereka tak pernah jenuh menghiburku.
“Pah, bolehkah aku minta sesuatu? Dan mungkin itu akan menjadi permintaan terakhir aku.” Papa yang semula membaca Koran segera meletakkan korannya dan menghampiriku.
“Sayang, kamu tidak boleh bicara seperti itu. Apapun itu permintaanmu, pasti Papa lakukan. Tapi, kamu janji tidak akan bicara seperti itu lagi.” Papa menangis lagi.
“Iya sayang, kamu jangan bicara seperti itu lagi.” Timpal Mama.
“Pah, sebelumnya aku minta maaf sama kalian, karena selama ini aku kurang ajar. Harusnya aku bersyukur memiliki orang tua yang baik seperti kalian.”
“Tidak sayang, kamu tidak salah, kami yang salah, mau kan kamu memaafkan kami? Kamu anak kami satu-satunya. Kami tidak ingin kehilangan kamu, sayang.” Mama memeluk tubuhku erat-erat.
“Iya sayang, sekarang katakana apa permintaanmu, supaya Papa segera melakukannya.” Papa membelai rambut dan mengecup keningku.
“Pah, aku tahu Papa tidak menyukai Reza. Tapi aku mohon, kali ini aku ingin Reza di sini menemani saat-saat terakhirku. Boleh ya Pah?” Aku memohon pada papa.
“baik sayang. Papa akan menjemput Reza sekarang. Tapi kamu janji ya tunggu di sini sama Mama” aku mengangguk pelan. 
###

Ruangan putih itu kian hampa. Wajahku semakin pucat, pandanganku kosong .
“Nez…” Suara lembut itu… suara yang sangat ku rindukan.
“Reza, aku minta maaf, aku banyak salah sama kamu. Za… sebenarnya aku juga sayang kamu. Tapi….” Aku tak kuasa menahan air mataku.
“Sudahlah, Nez. Tak perlu meminta maaf. Aku sudah memaafkanmu dari dulu.” Reza pun ikut menangis.
“Za, boleh aku minta tolong? Permintaan dariku, untuk pertama dan terakhir kalinya.” Reza hanya mengangguk dalam tangisnya. Ku usap air matanya, dia menggenggam erat tanganku.
“ Apapun itu, akan ku lakukan jika dapat membahagiakanmu, Nez”.
“Za, aku ingin.. disisa hidupku, aku bisa sama kamu”
“Pasti, Nez”.
“Dan aku ingin, disisa hidupku ini, terisi dengan hal-hal yang bermanfaat agar dapat menolongku di kegelapan akherat kelak. Aku ingin bertaubat, Za. Aku sadar, ini adalah teguran dari Tuhan, karena aku terlalu sombong dan angkuh. Bahkan aku tidak pernah mensyukuri segala anugerah dan nikmat yang telah di berikanNya kepadaku. Tapi apakah mungkin Tuhan menerimaku, Za?”
“Nez, tidak ada kata terlambat untuk bertaubat. Tuhan Maha pengampun. Kalau kamu sungguh-sungguh, pasti Tuhan akan menerimanya.” Kata-kata Reza sangat menenangkanku.
“ terimakasih, Za”. Ucapku tanpa berhenti menangis. Kulihat dari kejauhan, Mama dan Papa tersenyum mengangguk padaku.
####

Hari-hari ku lalui di rumah sakit ini. Terasa sangat menjenuhkan. Tapi, setiap hari Reza datang menemuiku. Kadang dia mengajakku jalan-jalan di taman rumah sakit untuk menghilagkan kejenuhanku. Aku sangat bahagia. Orang tuaku juga sekarang tak pernah bertangkar lagi. Mereka sangat perhatian. Rasanya berat untuk meninggalkan semuanya.
“Za..”. panggilku saat Reza membawaku kembali ke kamar.
“Iya, Nez”
“Aku sangat bahagia”
“Aku juga bahagia, Nez”
“berat rasanya aku maninggalkan semuanya, sayang. Aku boleh minta tolong?”
“Minta tolong apa, sayang?” ucap Reza memegang erat tanganku dan mengecup keningku.
“ Aku ingin mendengar kamu mengaji, Za”
“ Iya, Nez. Tunggu di sini sebentar ya”.
Reza mengambil air wudhu dan kembali membawa Al-Qur’an. Dia memulai membacanya dengan sedikit terisak.
“ Aku ingin pergi dengan tenang, sayang”. Reza menghentikan bacaannya dan mengangguk sebentar lalu melanjutkannya kembali. Dengan senyuman dan perlahan ku pejamkan mata ini untuk selamanya.
“Selamat jalan, sayang. Aku akan selalu mengingatmu dan menyayangimu”. Ucap Reza lirih di depan makam. Pada nisan tertulis 
“RINEZ FALISHA RADITH"
Binti 
M. RADITH 
Lahir: 28-06-1990 
Wafat: 25-10-2008

In Nadwah, Sunday 2008, 9th November
At 11.30 pm
ANISA HANAN
XII Exact 2
MA Negeri Buntet Pesantren Cirebon